paper pertamaku


PENTINGNYA PENCACATAN AKUNTANSI SYARIAH DALAM AKAD MUZARA’AH DALAM LINGKUP MASYARAKAT DESA



Description: C:\Program Files\Microsoft Office\MEDIA\CAGCAT10\j0233312.wmf



Disusun oleh :
Nining Runingsih (1216232)
Mahasiswi Akuntansi Islam

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Jl. Ir. H. Djuanda No.78 Sentul City, Bogor 16810
2013/2014

ABSTRAK

Mencatat merupakan aktivitas yang penting untuk setiap individu di berbagai bidang dan profesi apapun. Misalnya dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya mencatat arus kas keuangan kita, seberapa besar  pemasukan dan pengeluaran keuangan kita . beberapa manfaat dari pencatatan tersebut adalah untuk mengukur bagaimana keadaan keuanagn dan bisa melakukan evaluasi dan perencanaan di periode selanjutnya.


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mengetahui suatu informasi biasanya dapat dilihat dari hasil pencatatan yang dilaporkan dalam bentuk tulisan, data, grafik dan lainnya. Begitu pula halnya dalam sebuah laporan keuangan, kita juga harus rajin dalam mencatatnya, mulai dari kas masuk dan keluar, maka akan diketahui berapa sisanya. Pencatatan dalam akuntansi  sangat dibutuhkan diberbagai bidang, di berbagai kalangan dan diberbagai daerah. Seperti halnya masyarakat kota yang kebanyakan terjun dalam bidang bisnis dan laporan keuangannya harus dilaporkan agar banyak investor yang menanamkan investasinya di perusahaan bisnisnya tersebut. Begitu juga, sama pentingnya pencatatan akuntansi  dalam lingkup masyarakat desa, ia harus mempunyai pencatatan keuangan yang ia lakukan secara rutin, terutama dalam bidang muzara’ah yang berfungsi untuk memperjelas berapa pemasukan dan pengeluarannya.

Rumusan Masalah
Bagaimana pencatatan yang baik dalam Qs. Al-Baqarah ayat 282?
Tujuan Penulisan
Untuk belajar memberikan opini dengan karya tulis dalam bentuk paper.
Merupakan tugas dari mata kuliah Akuntansi Islam.


PEMBAHASAN

Dasar hukum pencatatan sangat jelas dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282, yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan. Hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana  Allah telah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, TuhanNya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya ....”
Ternyata, sangat penting pencatatan dalam hal muammalah, Allah menyuruh kita mencatat apapun transaksi terutama dalam hutang piutang sesuai dengan tafsiran Depag, dalam Tafsir Depag RI tersebut yaitu Allah memerintahkan orang–orang yang beriman agar melaksanakan ketentuan–ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian yang tidak tunai, yaitu dengan melengkapi alat–alat bukti (yang tertulis dan/atau adanya saksi) sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pencatatan akuntansi syariah ada hubungannya dengan bagi hasil akad muzara’ah. Dimana pemilik tanah atau pemilik modal mengeluarkan modal dalam bentuk uang dan penggarap tanah mempergunakannya untuk mengolah lahan, setiap transaksi yang dilakukan baik oleh pemilik modal atau penggarap tanah, keduanya harus saling mencatat transaksi yang dilakukan.
 Menurut Badan Statistik tahun 2013, BPS mencatat jumlah usaha pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta rumah tangga dengan 5,49 ribu perusahaan pertanian berbadan hukum dan usaha pertanian lain sebanyak 6,17 ribu. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan tiga provinsi dengan urutan teratas yang mempunyai basis rumah tangga usaha pertanian terbanyak masinng-masing 4,98 juta, 4,29 juta, dan 3,06 juta rumah tangga. Sementara provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah yang paling sedikit jumlah RT usaha pertanian dengan 12,3 ribu rumah tangga.[1]

[1] www.bps.go.id (di akses tanggal 21 oktober 2013)
Dalam pengertian istilah, muzaroah adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi faktor produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan urf (adat kebiasaan) sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah.
Dasar hukum mengenai muzara’ah dalam hadits,yaitu “Bahwasanya Rasulullah memperkerjakan penduduk khaibar dalam pertanian dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk tanaman atau buah-buahan” (HR.Bukhar,Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).[2]
Dalam sebuah seminar baru–baru ini di University of Glasgow, Inggris, Prof Steven Walker, seorang accounting historian dari Cardiff University, Inggris membentangkan papernya tentang dampak pencatatan keuangan di 750 ribu petani di Amerika Serikat yang masuk dalam program rehabilitasi keuangan paska Perang Dunia I. Wajah warga Amerika pada saat itu sangat memelas karena kemiskinan yang berlarut-larut. Selama program pemberian modal usaha itu berlangsung, para petani (termasuk anggota istri dan anak-anaknya) diajarkan para petugas bagaimana mencatat keuangan dengan baik dari mulai berapa hasil panen yang dijual, berapa keuntungan, untuk apa saja dibelanjakan (makan, baju, buku) hingga berapa sumbangan untuk gereja diberikan. Setelah program berakhir, didapati para petani dan keluarganya berhasil memperbaiki taraf hidupnya. Dalam pengukuran kesuksesan program itu didapati kesimpulan bahwa salah satu faktor keberhasilan program peningkatan taraf hidup itu dikarenakan rajinnya membuat pencatatan dan perencanaan keuangan.[3]
Dari contoh kasus diatas, dengan melakukan pencatatan yang rutin dan berkala, dapat merubah taraf hidup warga petani yang sebelumnya terjadi kasus kemiskinan. Masyarakat memang banyak yang belum mengerti bagaimana pencatatan keuangan itu dari hal kecil saja, karena sumber daya manusia yang kurang kompeten, dan kurangnya sosialisasi dari pihak yang mempunyai ilmu. Dari sinilah begitu pentingnya pencatatan, firman Allah sudah jelas dalam QS.Al-Baqarah : 282.

[2] Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm.115
[3]Murniati Mukhlisin http://ramadan.detik.com/read/2013/07/02/081321/2289710/1522/ (diakses tanggal 21        Oktober 2013)
SIMPULAN

Merujuk pada Qs. Al-Baqarah : 282, sangat jelas perintah Allah kepada kita untuk mencatat transaksi muammalah, dalam  pencatatan akuntansi syariah yang paling utama adalah kejujuran, mencatat dengan benar sesuai kenyataan, tidak mengurangi sedikit pun daripadanya. Sehingga tidak akan ada yang dirugikan satu sama lain.
Muzara’ah adalah salah satu cara menjadikan tanah pertanian menjadi faktor produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan nisbah yang dinyatakan dalam perjanjian.
Dalam akad muzara’ah yang notabene masyarakat desa dan penduduknya bergelut dalam bidang pertanian, pencatatan ini sangat bermanfaat untuk mengetahui seberapa pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan dalam  periode ini, dan hasilnya akan dapat dijadikan evaluasi dan perencanaan keuangan di periode selanjutnya.
Pencatatan yang dilaksanakan secara rutin dan dengan kejujuran akan menjadikan hati merasa tenang karena ia sudah melaksanakan perintah Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 282 dan  ai juga dapat mengetahui bagaimana kondisi keuangannya setiap periode.














REFERENSI

Al-Qur’an. Terjemahan Syaamil.
Muslich,Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Mizan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKAN LEBIH MUDAH DENGAN BAKMI GM DELIVERY

HALAL DAN TOYYIB

NOVEMBERKAH